Jumat, 26 Juni 2009

Sinergi Sabar dan Sholat

"Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". (QS AlBaqarah [2]: 155)

Shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat. Demikian sabdaRasulullah SAW ketika memerintahkan ibadah shalat kepada umatnya. Perintah ini menunjukkan betapa pentingnya nilai shalat bagi seorang Muslim, sampai gerakan dan bacaannya dicontohkan secara detail oleh beliau.

Sejatinya, shalat adalah ibadah paripurna yang memadukan olah pikir, olah gerak dan olah rasa (sensibilitas) . Ketiganya terpadu secara cantik dan selaras. Kontemplasi dan riyadhah yang terintegrasi sempurna, saling melengkapi dari dimensi perilaku/lisan (al-bayan), respons motorik, rasionalitas (menempatkan diri secara proporsional) , dan kepekaan terhadap jati diri--untuk merasakan cinta dan kasih sayang Allah SWT.


Yang menarik, Alquran kerap menggandengkan ritual shalat dengan sikap sabar.
Misalnya dalam QS Al Baqarah [2] ayat 155, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Perintah senada terungkap pula dalam QS Al Baqarah [2] ayat 45.

Mengapa sabar dan shalat?


Sebelumnya, mari kita lihat makna sabar. Secara etimologi, sabar
(ash-shabr) bermakna menahan (al-habs). Dari sini sabar dimaknai sebagai
upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk
mencapai ridha Allah (QS Ar Ra'd [13]: 22).

Lebih dari seratus kali kata sabar disebut dalam Alquran. Tidak mengherankan, karena sabar adalah poros sekaligus asas segala macam kemuliaan akhlak. Jika kita menelusuri hakikat akhlak mulia, maka sabar selalu menjadi asas dan landasannya. 'Iffah [menjaga kesucian diri misalnya, adalah bentuk kesabaran dalam menahan diri dari memperturutkansyahwat. Syukur adalah bentuk kesabaran untuk tidak mengingkari nikmat dari Allah. Qana'ah [merasa cukup dengan apa yang ada] adalah sabar dengan menahan diri dari angan-angan dan keserakahan. Hilm [lemah-lembut] adalah kesabaran dalam mengendalikan amarah. Pemaaf adalah sabar untuk tidak membalas dendam. Demikian pula keutamaan akhlak lainnya. Pengukuh agama
semuanya bersumbu pada kesabaran.

Dari sini terlihat bahwa sabar itu cakupannya sangat luas. Sehingga sabar bernilai setengah keimanan. Setengah lainnya adalah syukur. Sabar ini terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan; seperti musibah, bencana atau kesusahan. Kedua, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, sabar dalam menjalankan ketaatan.

Tidak berputus asa saat menghadapi musibah (atau sesuatu yang tidak enak) merupakan tingkat terendah dari kesabaran. Satu tingkat di atasnya adalah sabar untuk menjauhi maksiat dan kesabaran berlaku taat. Mengapa demikian?
Kesabaran menghadapi musibah disebut kesabaran idhthirari (tidak bisa
dihindari). Pada saat ditimpa musibah, seseorang tdak memiliki pilihan
kecuali menerima cobaan tersebut dengan sabar.

Dengan tidak sabar pun, musibah tetap terjadi. Lain halnya dengan sabar
menjauhi maksiat dan sabar dalam taat, keduanya bersifat ikhtiari (bisa
dihindari). Dengan kata lain, manusia dihadapkan pada pilihan, bisa
melakukan bisa pula tidak.

Dari sini, secara psikologis kita bisa memaknai sabar sebagai sebuah
kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan. Dengan kata
lain, sabar adalah upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah.

Jiwa yang tenang

Salah satu ciri orang sabar adalah mampu menempatkan diri dan bersikap
optimal dalam setiap keadaan. Sabar bukanlah sebuah bentuk keputusasaan,
melainkan optimisme yang terukur. Ketika menghadapi situasi di mana kita
harus marah misalnya, maka marahlah secara bijak dan diniatkan untuk
mendapatkan kebaikan bersama. Karena itu, mekanisme sabar dapat
melembutkan hati, menghantarkan sebuah kemenangan yang manis atas dorongan syaithaniyah untuk menuruti ketidakseimbangan hawa nafsu.

Dalam shalat dan proses sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan
kendali diri secara proporsional, mulai dari gerakan (kecerdasan motorik),
inderawi (kecerdasan sensibilitas) , aql, dan pengelolaan nafs menjadi
motivasi yang bersifat muthma'innah. Jiwa yang tenang inilah yang akan
memiliki karakteristik malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran
absolut. Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah). Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang bening dalam ridha-Nya (QS Al Fajr [89]: 27-28).

Orang-orang yang memiliki jiwa muthma'innah pada akhirnya akan mampu
mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam kesehariannya. Nilai shalat
adalah nilai-nilai yang didominasi kesabaran paripurna. Praktiknya
tercermin dari sikap penuh syukur, pemaaf, lemah lembut (hilm), penyayang,
tawakal, merasa cukup dengan yang ada (qana'ah), pandai menjaga kesucian
diri ('iffah), konsisten (istiqamah), dsb.

Tak heran jika Rasulullah SAW, para sahabat dan orang-orang saleh
menjadikan shalat sebagai istirahat, sebagai sarana pembelajaran, sebagai
media pembangkit energi, sebagai sumber kekuatan, dan sebagai pemandu
meraih kemenangan. Ketika mendapat rezeki berlimpah, shalatlah ungkapan
kesyukurannya. Ketika beban hidup semakin berat, shalatlah yang meringankannya. Ketika rasa cemas membelenggu, shalatlah yang
membebaskannya. Khubaib bin Adi dapat kita jadikan teladan.

Ketika akan menjalani dieksekusi mati, seorang dedengkot kafir Quraisy
memberi Khubaib kesempatan untuk mengungkapkan keinginan terakhirnya. Apa
yang ia minta? Ternyata, Khubaib minta diberi kesempatan untuk shalat.
Permintaan itu dikabulkan. Dengan khusyuk ia shalat dua rakaat. Selepas
itu pengagum berat Rasulullah SAW ini berkata, Andai saja aku tidak ingin
dianggap takut dan mengulur-ulur waktu, niscaya akan kuperpanjang lagi
shalatku ini!.

Ya, shalat yang baik akan menghasilkan kemampuan bersabar. Sebaliknya
kesabaran yang baik akan menghasilkan shalat yang berkualitas. Ciri shalat
berkualitas adalah terjadinya dialog dengan Allah sehingga melahirkan
ketenangan di hati. Komunikasi dengan Allah tidak didasari titipan
kepentingan. Dengan terbebas dari gangguan kepentingan tersebut, shalat
akan mencapai derajat komunikasi tertinggi. Komunikasi dengan Dzat Yang
Mahakuasa, Pemilik Alam Semesta.

Siapa pun yang mampu merasakan nikmatnya berdialog dengan Allah SWT,
hingga berbuah pengalaman spiritual yang dalam, niscaya ia tidak akan
sekali pun melalaikan shalat. Ia rela kehilangan apa pun, asal tidak
kehilangan shalat. Jika sudah demikian, pintu pertolongan dari Allah SWT
akan terbuka lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar