Kamis, 24 September 2009

Kamis, 13 Agustus 2009

Cermin Diri

Tatkala kudatangi sebuah cermin
Tampak sesosok yang sangat lama kukenal dan sangat sering kulihat
Namun aneh , sesungguhnya aku belum mengenal siapa yang kulihat

Tatkala kutatap wajah , hatiku bertanya . Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya bersinar indah di surga sana ?
Ataukah wajah ini yang kelak akan hangus legam di neraka Jahannam

Tatkala kutatap mata, nanar hatiku bertanya
Mata inikah yang akan menatap penuh kelezatan dan kerinduan….
Menatap Allah , menatap Rasulullah , menatap kekasih-kekasih Allah kelak ?
Ataukah mata ini yang terbeliak , melotot , menganga , terburai menatap Neraka Jahannam………..

Akankah mata penuh maksiat ini akan menyelamatkan ?
Wahai mata , apa gerangan yang kau tatap selama ini ?

Tatkala kutatap mulut , apakah mulut ini yang kelak akan mendesah penuh kerinduan .. Mengucap laa ilaaha ilallah saat malaikat maut datang menjemput ?

Ataukah menjadi mulut menganga dengan lidah menjulur , dengan lengking jeritan pilu yang akan mencopot sendi-sendi setiap pendengar.

Ataukah mulut ini menjadi pemakan buah zaqum jahannam ..yang getir
penghangus , penghancur setiap usus.
Apakah gerangan yang engkau ucapkan wahai mulut yang malang ?
Berapa banyak dusta yang engkau ucapkan ?

Berapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang
mengiris tajam
Berapa banyak kata-kata manis semanis madu yang palsu
yang engkau ucapkan untuk menipu ?
Betapa jarang engkau jujur.
Betapa langkanya engkau syahdu memohon agar Tuhan mengampunimu.

Tatkala kutatap tubuhku.
Apakah tubuh ini kelak yang akan penuh cahaya …
Bersinar , bersukacita , bercengkrama di surga ?
Atau tubuh ini yang akan tercabik-cabik hancur , mendidih , di dalam lahar membara jahannam , terpasung tanpa ampun , derita yang tak pernah berakhir
Wahai tubuh , berapa banyak maksiat yang engkau lakukan ?
Berapa banyak orang-orang yang engkau zalimi dengan tubuhmu ?
Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau
tindas dengan kekuatanmu ?
Berapa banyak perindu pertolongan yang engkau acuhkan tanpa peduli
padahal engkau mampu ?
Berapa banyak hak-hak yang engkau rampas ?

Ketika kutatap hai tubuh
Seperti apa gerangan isi hatimu
Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu
Atau sekotor daki-daki yang melekat di tubuhmu
Apakah hatimu segagah ototmu
Atau selemah daun-daun yang mudah rontok
Ataukah hatimu seindah penampilanmu
Ataukah sebusuk kotoran-kotoranmu

Betapa beda ..betapa beda …apa yang tampak di cermin
dengan apa yang tersembunyi
Betapa beda apa yang tampak di cermin dan apa yang tersembunyi
Aku telah tertipu , aku tertipu oleh topeng
Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah topeng belaka
Betapa pujian yang terhambur hanyalah memuji topeng
Betapa yang indah ternyata hanyalah topeng..
Sedangkan aku … hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus
Aku tertipu , aku malu ya Allah
Allah ..selamatkan aku..Amin ya Rabbal `alamin

Selasa, 04 Agustus 2009

[Mutiara Hadist] Doa Rasulullah yang Ditolak Allah

Amir bin Said dari bapaknya meriwayatkan:

Satu hari Rasulullah SAW datang dari daerah berbukit. Setelah Rasulullah SAW sampai di masjid Bani Mu'awiyah, beliau masuk ke dalam masjid dan menunaikan shalat dua rakaat. Kami pun turut shalat bersama dengan Rasulullah SAW.

Kemudian Rasulullah SAW berdoa dengan agak panjang kepada Allah SWT.

Setelah selesai berdoa, Rasulullah SAW pun berpaling kepada kami lalu berkata:

"Aku telah memohon kepada Allah SWT tiga hal. Dari tiga hal itu, hanya dua hal yang Dia kabulkan sementar yang satu lagi ditolak. Tiga hal itu adalah:
1. Aku memohon kepada Allah SWT agar Dia tidak membinasakan umatku dengan musim susah (paceklik) yang berkepanjangan. Permohonanku ini dikabulkan oleh Allah SWT.
2. Aku memohon kepada Allah SWT agar umatku ini jangan dibinasakan dengan bencana tenggelam (seperti banjir besar yang telah melanda umat Nabi Nuh a.s.). Permohonanku yang ini pun dikabulkan oleh-Nya.
3. Aku memohon kepada Allah SWT agar umatku terbebas dari pertikaian sesama mereka (peperangan, percekcokan antara sesama umat Islam). Tetapi permohonanku yang ini tidak dikabulkan (telah ditolak) oleh-Nya."

Riwayat hadis di atas hingga kini masih menjadi bahan perdebatan di antara ahli hadis tentang kesahihannya. Beberapa ulama menyatakan hadis ini sahih, namun tak sedikit yang meragukan keasliannya dari Nabi SAW.

Namun, jika hal ini benar-benar pernah terjadi pada masa Rasulullah, tentunya kita butuh pemahaman yang pas tentang makna hadis ini.

Ditolaknya permohonan Nabi tidak harus dimaknai bahwa umat ini memang telah ditakdirkan harus berperang. Karena kalau seprti itu, maka hanya akan menjadi pembenar terhadap perilaku brutal sebagian umat yang sebenaranya hanya pemenuhan ego dan fanatisme golongan dan pemahaman belaka.

Kasus dalam hadis ini mungkin hampir mirip dengan kisah diijinkannya iblis untuk menggoda anak keturunan Adam a.s. hingga akhir masa. Hal ini tentu tidak bisa dimaknai bahwa anak keturunan Adam memang sudah ditakdirkan tergoda oleh tipu daya Iblis.

Kedua kasus di atas merupakan ujian bagi umat untuk belajar bagaimana mengendalikan ego dan nafsu-nafsu rendah. linabluwakum ayyukum ahsanu amala: Untuk menguji siapa di antara manusia yang melakukan kebajikan.
Wa Allah A'lam bi Ash-Shawab.taq/berbagai sumber

sumber : http://www.republika.co.id/berita/33705/Doa_Rasulullah_yang_Ditolak_Allah

Kamis, 16 Juli 2009

Dapurku Syurgaku

Penulis: Ummu Rumman Azzahra

“Ukh, bingung nih mau masak apa buat suami. Ibu saya tadi datang bawa terong, tapi sayang bingung, terongnya harus diapain. Emang terong bisa dimasak apa aja sih, Ukh? Saya nyesel kenapa nggak dari dulu belajar masak…”

Kejadian di atas dialami salah seorang sahabat penulis seminggu pasca-menikah. Berangkat dari kejadian tersebut, penulis merasa perlu berbagi pengalaman bahwa memasak ternyata punya peran tersendiri dalam sebuah rumah tangga. Mungkin kejadian di atas tidak perlu membuahkan masalah jika si istri ternyata piawai dalam hal masak-memasak. Namun, bagaimana dengan mereka yang mengenal bumbu dapur saja tidak bisa?


Pentingkah Memasak?

Memasak merupakan aktivitas yang banyak dilakoni oleh para wanita sejak turun temurun. Meski sekarang tidak sedikit pula laki-laki yang handal memasak, namun dalam kehidupan rumah tangga, memasak tetap harus diperani oleh wanita. Sekilas kita lihat aktivitas ini mungkin sangat remeh-temeh. Tetapi pada prakteknya tidak akan semudah itu. Orang yang mengaku bisa masak pun terkadang suka dihampiri rasa tak percaya diri ketika masakannya harus dicicipi orang lain. Maka tidak heran jika para pengamat seni menempatkan masakan sebagai karya seni yang paling berharga di antara semua karya seni lainnya.

Begitu pentingnya memasak hingga tak jarang kita jumpai banyak orang yang terkagum-kagum dengan seseorang yang menguasai bidang ini. Pun seorang istri yang pintar masak. Dengan keahliannya tersebut akan membuat suaminya betah di rumah dan malas membeli makan di luar. Masakan yang enak bisa menjadi salah satu perekat cinta seorang suami kepada istrinya. Bahkan memasak untuk menyenangkan suami bisa menjadi ladang pahala jika diniatkan untuk ibadah kepada Allah. Karena salah satu ciri istri shalihah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memenuhi semua hal yang disukai suaminya selama tidak dalam bermaksiat kepada Allah.

Memasak Sebagai Ladang Pahala

Saudariku –yang semoga senantiasa dirahmati Allah- apakah kalian menyadari bahwa kegiatan memasak ini ternyata bisa sekaligus menjadi kegiatan ibadah? Sebagai seorang muslimah kita diamanahkan untuk bertanggung jawab atas rumah kita dan menyiapkan makanan kepada semua orang yang ada di dalamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Jadi, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

Untuk itu tidak ada salahnya bagi seorang muslimah untuk menyiapkan santapan bagi keluarganya sebaik mungkin, demi melayani hamba-hamba Allah yang shalih, semisal suami, anak-anak, orang tua, dan semua orang yang ikut menikmati masakan yang kita masak. Dengan begitu, seorang muslimah akan ikut mengecap pahala yang Allah berikan kepada mereka, di mana sebenarnya kita sudah ikut membantu amal perbuatan mereka.

Memasak tidak hanya sekedar kegiatan meramu bumbu dan bahan makanan hingga terciptalah masakan lezat yang siap santap. Namun memasak juga bisa menjadi media kita untuk memikirkan dan mensyukuri semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Jika kita cermati, semuanya adalah rezeki yang telah Allah tentukan kepada kita. Karunia tersebut terlimpah dengan begitu mudah kepada kita setelah melalui proses campur tangan banyak orang.

Kita perhatikan saja sayur-sayuran yang kita santap. Akan kita dapati bahwa di sana ada yang menanaminya, ada yang mengumpulkan panennya, ada penjualnya, serta masih banyak lagi manusia yang berperan di dalamnya. Mereka dijadikan oleh Allah untuk melayani kita dan anggota keluarga kita. Padahal pada hakikatnya Allah-lah yang menanam dan menghidupkan sayuran tersebut sebagaimana firman-Nya, yang artinya,

“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Qs. Al Waqi’ah: 63-64)

Begitupun dengan nikmat yang lain yang banyak kita jumpai di meja makan kita. Allah berfirman mengenai hal ini, yang artinya,

“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen. Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang tersusun-susun, (sebagai) rezeki bagi hamba-hamba Kami……” (Qs. Qaf: 9-11)

Adapun dalam memasak, hendaklah kita usahakan memasak berdasarkan apa yang menjadi kesukaan suami dan anak-anak serta keluarga kita. Ini semua dilakukan dengan harapan dapat membuat suami dan keluarga bahagia, demi wujud ketaatan kita kepada Allah. Cobalah tanyakan kepada mereka makanan apa saja yang mereka sukai, jika cara tersebut bisa menyenangkan mereka.

Kadang kita dapati seorang suami ternyata lebih pintar memasak daripada istrinya. Jika hal ini yang kita alami, janganlah merasa malu untuk belajar dari suami kita. Kita juga bisa menggunakan momen memasak bersama sebagai kesempatan untuk bercengkrama dengan suami sehingga terciptalah suasana kemesraan yang akan menambah rasa cinta di hati masing-masing.

Mari Memulainya dari Dapur

Saudariku, sebagai seorang muslimah yang ingin selalu meraih ridha Allah di setiap kesempatan, maka kita bisa memanfaatkan waktu-waktu kita di dapur untuk menjadi sarana mendekatkan diri kita kepada-Nya.

Berikut ini hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari aktivitas memasak kita sehari-hari:

Saat masakan kita telah matang, maka hadirkanlah dalam benak kita betapa Allah telah menganugerahkan kepada kita nikmat untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita.
Saat memasak, cobalah untuk mengingat bahwa di luar sana masih banyak dapur-dapur yang tidak mengepul. Alangkah indahnya jika kita biasakan untuk selalu mengingat nasib fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Jika memungkinkan, kita bisa menyisakan sedikit dari jatah makan kita untuk mereka sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka.
Ketika mencium aroma sedap masakan kita, saat itu ingatlah tetangga kita. Sebab bisa jadi tetangga kita juga turut mencium aroma masakan tersebut. Akan lebih baik lagi jika kita menghadiahkan sebagian masakan tersebut kepada mereka, khususnya untuk masakan-masakan spesial yang kita masak. Dengan hal ini akan mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta, saling menghargai dan memperbaiki hubungan tetangga.
Dampak yang bisa kita peroleh dari sini adalah tetangga kita akan menghormati dakwah ini. Inilah di antara sarana yang paling sukses dan paling sederhana untuk memperkuat tali hubungan sosial dan menyuburkan sensitivitas perasaan hati kita. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
Bagi yang sudah memiliki anak, mulailah untuk membiasakan mereka untuk ikut serta membantu kita memasak. Misalnya bisa dengan mempersiapkan bahan-bahan memasak, sehingga mereka benar-benar terampil. Di samping untuk mengenalkan apa-apa yang ada di dapur, hal ini juga untuk membuat mereka turut merasakan beban berat yang kita pikul. Sehingga mereka akan memberi penghormatan dan akan mudah memahami diri kita.
Ketika mengunjungi kerabat dan teman-teman dekat, kita bisa memilih masakan karya kita sendiri sebagai oleh-oleh untuk mereka.
Terakhir, sebelum melakukan kegiatan memasak, ada aktivitas lain yang biasa sering kita lakukan yakni berbelanja di pasar. Bila kita cermati, kegiatan belanja ini bisa kita gunakan sebagai perkenalan dengan para penjual langganan kita. Ini juga sebagai sarana untuk menjalin tali persaudaraan dengan mereka, atau sebagai bentuk interaksi kita dengan masyarakat, dengan catatan kita tetap harus memperhatikan adab-adab berinteraksi dengan penjual. Kesempatan ini bisa pula menjadi sarana dakwah kita kepada mereka. Di sela-sela interaksi dengan mereka, kita dapat mengenalkan hal-hal yang halal dan haram dalam masalah jual beli, dan hal-hal lain yang mungkin sering dipertanyakan banyak orang.

Mulailah Belajar

Bagi sebagian yang lain, memasak mungkin menjadi masalah bagi mereka. Ada beberapa faktor yang membuat seorang muslimah enggan untuk memasak. Salah satunya adalah rasa malas untuk belajar, di samping juga faktor kesibukan di luar rumah serta banyaknya warung makan yang menawarkan jasa catering untuk mereka yang tidak sempat memasak.

Jika hal tersebut berlangsung terus menerus apakah tidak boros? Bagaimana jika suami atau anak-anak berkeinginan mencoba hasil masakan kita. Apa kita masih akan memilih makanan dari luar terus? Tentu kita tidak ingin seperti itu. Untuk itu, bagi yang belum pintar masak, buanglah rasa malas dan teruslah berlatih. Setelah terbiasa, nanti akan terbukti bahwa memasak itu bukanlah hal yang sulit, apalagi jika diniatkan untuk ibadah.

Untuk memasak kita memang akan sedikit repot. Mempersiapkan segala sesuatunya, dari perapian, peralatan sampai bahan, belum nanti jika sudah selesai harus membersihkan atau membereskan semuanya. Agak melelahkan memang. Namun kelelahan itu akan segera berganti kebanggaan dan kebahagiaan ketika suami dan anak-anak kita menyantap masakannya dengan lahap.

Nah, bagaimana saudariku? Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama bagi penulis sendiri. Kita memohon pertolongan Allah agar selalu memberi kita kemudahan dalam menunaikan tugas-tugas kita sebagai muslimah.

wallahu a'lam

Senin, 13 Juli 2009

Perang Keinginan

Oleh: Fahmi Islam Jiwanto, MA

dakwatuna.com - Manusia hidup dan digerakkan oleh keinginan. Waktu dan segala yang dimiliki manusia dikonsumsi dan dipergunakan untuk merealisasikan keinginan. Tetapi sebuah pertanyaan menghadang kenyataan aksiomatis ini; yaitu kenginan seperti apa dan keinginan siapa yang patut selalu diikuti?

Manusia dalam posisinya dengan keinginan terbagi menjadi beberapa golongan:

Pertama, manusia yang hanya mengikuti keinginan dirinya. Tidak ada yang penting baginya kecuali yang dia mau. Barangkali dia mengira bahwa dirinya merdeka. Merdeka menentukan segala yang dia mau. Merdeka juga berpikir apa saja yang dia bayangkan. Independensi memang penting untuk membentuk kepribadian. Tanpa independensi seorang manusia hanyalah angka satuan yang tidak terlalu penting di tengah milyaran manusia. Tetapi independensi ada batasnya. Manusia yang tidak mengenal batas dirinya cenderung egois dan egosentris. Lebih jauh bahkan al-Qur’an menyebut manusia seperti ini sebagai manusia yang menyembah hawa nafsunya. Allah berfirman di surat al-Jatsiyah ayat 23:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23)

23. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jatsiyah: 23)

Rasulullah SAW juga menyebut orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya sebagai orang yang lemah.

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ. رواه الترمذي وابن ماجه وأحمد

“Orang yang cerdas adalah yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian, sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi banyak berangan-angan atas (karunia) Allah.” (HR at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Kedua, manusia yang tidak punya keinginan independen. Dia selalu didorong oleh pihak luar. Lingkungan, teman, orang tua, bahkan seterunya selalu menjadi pusat perhatiannya, dan selalu mendorongnya untuk bereaksi. Orang seperti ini tidak punya pendirian. Apa kata orang itulah katanya. Ke manapun angin berhembus ke sanalah dia berlayar. Orang seperti sangat dikecam Rasulullah, beliau berkata:

لَا تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَا تَظْلِمُوا. رواه الترمذي

“Janganlah kalian menjadi orang tidak berpendirian, yang mengatakan ‘jika orang-orang berbuat baik, kami juga berbuat baik, jika mereka berbuat zhalim, kami juga berbuat zhalim.’ Tetapi kuatkanlah pendirian kalian, jika orang-orang berbuat baik, berbuat baiklah, jika mereka berbuat zhalim, jangan kalian berbuat zhalim.” (HR at-Turmudzi)

Ketiga, manusia yang selalu berperang antara kemauan dirinya dan kemauan orang lain, dan juga kemauan Sang Pencipta. Dia selalu ingin mendapatkan penerimaan semua pihak tetapi tidak rela mengorbankan keinginan dan ambisi atau syahwatnya. Golongan seperti ini selalu diombang-ambingkan ketidakpastian tujuan. Peperangan sengit dan rumit terjadi dalam diri mereka. Yang mampu menemukan dirinya dalam naungan Allah akan selamat, tetapi yang terus tak mampu menemukan skala prioritas akan hidup dalam pederitaan batin dan gejolak pemikiran yang tak berakhir. Allah membuat perumpamaan terhadap orang seperti ini:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الزمر: 29

29.” Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS az-Zumar: 29)

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ آخِرَتِهِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهَا هَلَكَ. رواه ابن ماجه والحاكم وحسنه الألباني

“Barang siapa yang menjadikan pikiran-pikirannya menjadi satu pikiran yaitu pikiran akhirat, Allah cukupkan masalah dunianya. Dan barang siapa yang pikirannya bercabang-cabang di urusan dunia, Allah tidak perduli di lembah dunia mana dia akan binasa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim dihasankan oleh al-Albani)

Semoga Allah menyelamatkan kita dari musibah seperti itu.


Keempat, manusia yang menenggelamkan dirinya dalam keinginan Sang Pencipta. Dia hanya menginginkan keridhoan Allah. Dia tahu bahwa dia hanya makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia golongan ini adalah manusia luhur dan suci. Mereka menghayati firman Allah “Katakanlah bahwa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”

Tetapi beberapa tantangan serius menghadapi mereka. Tidak sedikit kegagalan terjadi jika anak Adam ini tidak berhasil menghadapi tantangan-tantangan tersebut.

Tantangan pertama adalah tantangan pemahaman. Sejauh mana anak manusia memahami apa yang Allah SWT tuntut darinya. Berapa banyak orang yang serius beribadah bahkan mengorbankan segala yang dia miliki untuk suatu hal yang sebetulnya tidak dituntut darinya. Betapa banyak kewajiban ditinggalkan karena melaksanakan ibadah sunah yang tidak prioritas dalam neraca Syariah. Betapa banyak kewajiban kolektif diabaikan padahal itu menyangkut kepentingan umum disebabkan sang manusia lebih asyik dengan ibadah personal yang porsinya bisa dibatasi. Betapa banyak bid’ah yang dianggap sunnah. Betapa banyak sunnah yang dianggap bid’ah.

Tanpa berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap Qur’an dan Sunnah, sangat sulit seorang muslim dapat dengan tepat melaksanakan peranan dan tugas yang dituntut darinya.

Kesalahan yang paling parah adalah yang terjadi pada golongan yang menganggap bahwa penyerahan diri terhadap Allah adalah bersikap fatalis atau yang dikenal dengan kaum Jabriyah. Bahwa manusia hanya dituntut menyerah pada takdir, tidak perlu berusaha atau merencanakan masa depan yang baik. Iman kepada takdir mereka pahami sebagai sikap pasif terhadap usaha perubahan.

Umar bin Khaththab pernah begitu gusar dengan pemahaman seperti ini, ketika beliau dan beberapa sahabat hendak memasuki daerah yang dilanda wabah. Setelah bermusyawarah akhirnya diputuskan untuk membatalkan kunjungan ke daerah tersebut. Salah seorang sahabat menentang putusan itu, dan berkata, “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Umar bin Khaththab terkejut dengan tanggapan tersebut, lalu menjawab, “Iya kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”

Allah mengecam orang-orang yang menggunakan takdir sebagai alasan untuk tidak melaksanakan hal-hal yang seharusnya. Allah berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

148. “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.”(QS al-An’am: 148)

Iman kepada takdir adalah kebenaran yang wajib diyakini, tetapi hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjajah oleh masa lalu, tersiksa oleh penderitaan masa yang telah lewat, atau tertipu oleh sesuatu yang membuat kita terlena. Allah jelaskan dalam surat al-Hadid apa yang dimaksudkan dengan iman kepada takdir, Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

22. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS al-Hadid: 22-23)

Iman kepada takdir membuat seorang muslim tidak tenggelam dalam penderitaan atau tertipu oleh kenikmatan, karena dia sadar bahwa itu semua sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta, Yang Maha Bijaksana dan semua yang Allah tetapkan selalu menyimpan hikmah dan kebijaksanaan. Singkat kata iman kepada takdir dapat menghindarkan sesorang dari pedihnya keputus-asaan dan tipuan kesombongan. Di sisi lain Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat untuk kebaikan dirinya. Rasulullah SAW bersabda:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَان. رواه مسلم

“Bersunguh-sungguhlah meraih hal yang bermanfaat untukmu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan melemah. Jika Sesuatu menimpamu janganlah engkau berkata, ‘jika dulu aku lakukan ini pasti terjadi begini atau begitu.’ Tetapi katakanlah, Allah sudah menakdirkan, dan apa yang Allah kehendaki pasti terjadi. Karena kata ‘kalau’ membuka perbuatan setan[1].” (HR Muslim)

Kesalahpahaman lain yang sering terjadi dalam beribadah juga adalah pemahaman bahwa ibadah hanyalah terbatas pada hal-hal ritual. Banyak umat Islam yang masih belum memahami universalitas Islam, bahwa perintah Allah juga mencakup segala kebaikan di berbagai aspek kehidupan. Dengan ringan tangan banyak muslim yang menginfakkan jutaan rupiah untuk pergi haji atau umrah. Tetapi jumlah seperti itu sulit didapatkan untuk membangun proyek-proyek yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama. Umat Islam sadar kalau sholat mereka batal kalau mereka berhadats, tetapi banyak tidak khawatir seluruh amalnya batal karena korupsi, kolusi dan menipu.

Kesalahpahaman yang juga banyak terjadi adalah berlebih-lebihan dan beragama. Ada yang berwudhu tapi sambil membuang air dengan mubadzir, ada yang sibuk mengucapkan niat sampai tidak bisa mengikuti sholat dengan baik dan khusyu’, ada yang sibuk dengan memendekkan pakaian sampai lupa memperhatikan hati dan memperbaiki akhlak. Ada yang terlalu berlebihan dalam masalah-masalah aqidah sampai mengkafirkan sebagian besar umat Islam. Ada yang begitu membenci kekafiran tetapi lupa berdakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik. Begitu bahayanya sikap berlebih-lebihan dalam agama sampai Rasulullah SAW memperingatkan:

وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ. رواه النسائي وابن ماجه والبيهقي والطبراني في الكبير وابن حبان وابن خزيمة وصححه الألباني

“Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR an-Nasa’I, Ibnu Majah, al-Baihaqi, at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah, dan dishahihkan oleh al-Albani)

Begitu banyak kesalahan dalam beribadah terjadi karena ketidakpahaman terhadap Islam. Sebagian besar bersumber dari jauhnya umat Islam dari pemahaman yang baik terhadap Qur’an dan Sunnah. Jarak yang terjadi bervariasi, mulai dari yang tidak pernah membaca al-Qur’an sama sekali, sampai yang membaca tetapi tidak memahami maknanya. Ada yang memahami sebagian kecil lalu merasa cukup dan merasa sudah pandai, bahkan mengira bahwa Islam hanya terangkum dalam beberapa ayat dan hadits. Ada yang mengaku mengerti al-Qur’an dan meninggalkan Hadits. Ada juga yang serius dengan hadits Nabi SAW tapi justru meninggalkan al-Qur’an dengan tidak mentadabburi al-Qur’an dengan rutin.

Apakah itu semua karena memahami agama Islam sulit? Sama sekali tidak. Tetapi siapapun yang menghendaki suatu tempat tapi tidak melalui jalan yang sesuai pasti tidak akan sampai tujuan. Seperti dikatakan oleh seorang penyair:

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَمْ تَجْرِ عَلَى يَبَسِ

“Kau harap selamat tapi tidak menempuh jalannya

Sesungguhnya bahtera tidak berlayar di atas daratan kering”


Tantangan kedua dalam ibadah adalah diri manusia itu sendiri. Dia berhadapan dengan hawa nafsunya yang sering menggodanya untuk meninggalkan perintah Allah. Dia akan berhadapan godaan dari luar, tetapi semua terkait dengan kekuatan tekad dan keteguhan pendirian hamba Allah tersebut.

Ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang jelas dilarang barangkali masalah menjadi jelas. Yang lebih rumit adalah ketika hawa nafsu mengajak kepada hal yang samar (syubhat), disini dua persoalan merajut satu sama lain sehingga memperumit tantangan. Yang lebih rumit lagi adalah ketika hawa nafsu mendapatkan pembenaran yang palsu. Ketika dalil-dalil syar’I yang mutasyabihat (yang samar) dapat digunakan untuk membenarkan pelanggaran.

Semua tantangan itu tidak mudah. Karena itu ibadah seorang hamba tidak akan sempurna tanpa memohon pertolongan Allah. Oleh sebab itu poros al-Fatihah yang harus diulang-ulang seorang muslim adalah: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.” (Kepada engkau kami menyembah, dan kepada engkau kami memohon pertolongan). Seorang muslim yang menyembah Allah tanpa memohon pertolongan dari-Nya, niscaya akan terjebak dan terjatuh dalam tantangan-tantangan yang sulit dalam perjalan hidup yang penuh dengan ujian.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita. Wallahu waliyyut taufiq.

Minggu, 12 Juli 2009

Cara Memperlakukan Isteri

Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com - “Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan cara paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa: 19)

Menikah adalah fitrah manusia. Rasulullah saw. menyebut menikah sebagai sunahnya. Bahkan, Nabi berkata, siapa yang membenci sunahnya, tidak termasuk dalam golongannya.

Setiap kita, pasangan muslim dan muslimah yang melakukan pernikahan, paham betul bahwa tujuan menikah yang utama adalah untuk mendapatkan ridha Allah. Setelah itu untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawahdah wa rahmah dan meneruskan keturunan dengan memperoleh anak-anak yang saleh dan salehah. Kita juga menyadari bahwa lembaga keluarga yang kita bentuk adalah wadah untuk melaku proses perubahan, baik untuk diri kita sendiri, keluarga, dan masyarakat.

Sepasang suami-istri yang dipersatukan oleh ikatan pernikahan juga sadar bahwa keluarga adalah organisasi kecil yang memiliki aturan dalam pengelolaannya. Karena itu, sepasang suami-istri harus bisa memahami hak dan kewajiban dirinya atas pasangannya dan anggota keluarga lainnya.

Sepasang suami-istri dalam berinteraksi di rumah tangga sepatutnya melandasi hubungan mereka dengan semangat mencari keseimbangan, menegakkan keadilan, menebar kasih sayang, dan mendahulukan menunaikan kewajiban daripada menuntut hak.

Kewajiban seorang istri terhadap suaminya adalah pertama, mentaati suami. Namun, dalam mentaati suami juga ada batasannya. Batasan itu adalah seperti yang disabdakan Rasulullah saw., “Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk bermaksiat kepada Allah, Sang Pencipta.”

Kewajiban seorang istri terhadap suami yang kedua adalah menjaga kehormatan dirinya, suami, dan harta keluarga. Ketiga, mengatur rumah tangga. Keempat, mendidik anak-anak. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Wanita adalah pengasuh dan pendidik di rumah suami, dan bertanggung jawab atas asuhannya.” Keluarga adalah prioritas seorang istri, meski tidak ada larangan baginya untuk melakukan peran sosialnya di masyarakat seperti berdakwah, misalnya.

Dan kewajiban lain seorang istri kepada suaminya adalah berbuat baik kepada keluarga suami.

Sedangkan kewajiban seorang suami kepada istrinya adalah pertama, membayar mahar dengan sempurna. Kedua, memberi nafkah. Rasulullah saw. bersabda, “Takutlah kepada Allah dalam memperlakukan wanita, karena kamu mengambil mereka dengan amanat Allah dan kamu halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah; dan kewajiban kamu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik.”

Ketiga, suami wajib memberi perlindungan kepada istrinya. Keempat, melindungi istri dari siksa api neraka. Ini perintah Allah swt., “Hai orang-orang yang beriman, selamatkan dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Kewajiban keempat, mempergauli istri dengan baik. Allah berfirman, “Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)Rasulullah saw. bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya; dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (Tirmidzi)

Muasyarah bil ma’ruf

Di ayat 19 surat An-Nisa di atas, Allah swt. menggunakan redaksi “muasyarah bil ma’ruf”. Makna kata “muasyarah” adalah bercampur dan bersahabat.

Karena mendapat tambahan frase “bil ma’ruf”, maknanya semakin dalam. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menulis makna “muasyarah bil ma’ruf” dengan “perbaikilah ucapan, perbuatan, penampilan sesuai dengan kemampuanmu sebagaimana kamu menginginkan dari mereka (pasanganmu), maka lakukanlah untuk mereka.”
Sedangkan Imam Qurthubi dalam tafsirnya menerangkan makna “muasyarah bil ma’ruf” dengan kalimat, “Pergaulilah istri kalian sebagaimana perintah Allah dengan cara yang baik, yaitu dengan memenuhi hak-haknya berupa mahar dan nafkah, tidak bermuka masam tanpa sebab, baik dalam ucapan (tidak kasar) maupun tidak cenderung dengan istri-istri yang lain.”

Adapun Tafsir Al-Manar menerangkan makna ”muasyarah bil ma’ruf” dengan kalimat, “Wajib atas orang beriman berbuat baik terhadap istri mereka, menggauli dengan cara yang baik, memberi mahar dan tidak menyakiti baik ucapan maupun perbuatan, dan tidak bermuka masam dalam setiap perjumpaan, karena semua itu bertentangan dalam pergaulan yang baik dalam keluarga.”
Di antara bentuk perlakuan yang baik adalah melapangkan nafkah, meminta pendapat dalam urusan rumah tangga, menutup aib istri, menjaga penampilan, dan membantu tugas-tugas istri di rumah.

Salah satu hikmah Allah swt. mewajibkan seorang suami ber-muasyarah bil ma’ruf kepada istrinya adalah agar pasangan suami-istri itu mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup. Karena itu, para ulama menetapkan hukum melakukan “muasyarah bil ma’ruf” sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh para suami agar mendapatkan kebaikan dalam rumah tangga.

Karena itu, para suami yang mendambakan kebaikan dalam rumah tangganya perlu mendalami tabiat perempuan secara umum dan tabiat istrinya secara khusus. Jika menemukan ada sesuatu yang dibenci dalam diri istri, demi kebaikan keluarga temukan lebih banyak kebaikan-kebaikannya. Suami juga harus tahu apa perannya dalam rumah tangga. Dan, jangan pernah mencelakan istri dengan kekerasan, baik secara fisik maupun mental. Ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw.,” Apa hak istri terhadap suaminya?” Rasulullah saw. menjawab, “Memberi makan apa yang kamu makan , memberi pakaian apa yang kamu pakai, tidak menampar mukanya, tidak membencinya serta tidak boleh memboikotnya.”

Bagaimana jika timbul perselisihan? Cekcok antara suami-istri adalah hal yang manusiawi. Jika Rasulullah saw. memberi toleransi waktu tiga hari bagi dua orang muslim saling mendiamkan satu sama lain, alangkah baiknya jika suami-istri saling mendiamkan di pagi hari, di malam harinya sudah bisa saling senyum lagi. Kenapa?

Sebab, pasangan suami-istri muslim dan muslimah paham betul bahwa perselisihan mereka adalah gangguan Iblis. Rasulullah saw. pernah menerangkan kepada para sahabat, “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengirim pasukannya, maka yang paling dekat kepadanya, dialah yang paling besar fitnahnya. Lalu datanglah salah seorang dari mereka seraya berkata: aku telah melakukan ini dan itu, Iblis menjawab, kamu belum melakukan apa-apa. Kemudian datang lagi yang lain melapor, aku mendatangi seorang lelaki dan tidak akan membiarkan dia, hingga aku menceraikan antara dia dan istrinya, lalu Iblis mendekat seraya berkata, “Sangat bagus kerjamu” (Muslim)

Begitulah, Iblis menjadikan menceraikan pasangan suami-istri sebagai prestasi tertinggi tentaranya. Karena itu, Islam mencegah perbuatan yang bisa menyebabkan perselisihan suami-istri. Karena itu, jika cekcok dengan pasangan hidup Anda, segera selesaikan masalahnya. Upayakan selesaikan masalah rumah tangga sendiri. Jangan menghadirkan pihak ketiga. Jika belum selesai juga, hadirkan seseorang yang bisa menjadi hakim yang bisa diterima kedua belah pihak.

Seiring dengan panjangnya perjalanan waktu dan lika-liku kehidupan, kadang ikatan pernikahan mengkendur. Karena itu, perkuat lagi ikatan itu dengan mengingat-ingat kembali tujuan pernikahan. Bangun komunikasi yang positif. Komunikasi adalah kunci keharmonisan. Karena itu, pahami betul cara berkomunikasi pasangan Anda. Dan, hidupkan syuro dalam keluarga. Bahkan untuk urusan kecil sekalipun perlu dibicarakan bersama. Insya Allah, Allah swt. akan memberi kebaikan yang banyak dalam keluarga Anda. Amin.

Sabtu, 11 Juli 2009

Sifat Malu Kaum Wanita

Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com - Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.

Apa sih sifat malu itu?
Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para ulama pernah berkata, “Hakikat dari malu adalah akhlak yang muncul dalam diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan terhadap hak orang lain.”

Abu Qasim Al-Junaid mendefinisikan dengan kalimat, “Sifat malu adalah melihat nikmat dan karunia sekaligus melihat kekurangan diri, yang akhirnya muncul dari keduanya suasana jiwa yang disebut dengan malu kepada Sang Pemberi Rezeki.”

Ada tiga jenis sifat malu, yaitu:

1. Malu yang bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat melihat gambar seronok, atau wajah yang memerah karena malu mendengar ucapan jorok.
2. Malu yang bersumber dari iman. Misalnya, seorang muslim menghindari berbuat maksiat karena malu atas muraqabatullah (pantauan Allah).
3. Malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap tidak malu seperti telanjang di hadapan orang banyak.

Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”

Bahkan, Rasulullah saw. menjadikan sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iman memiliki 70 atau 60 cabang. Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.”
(HR. Muslim dalam Kitab Iman, hadits nomor 51)

Dari hadits itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak akan ada sifat malu dalam diri seseorang yang tidak beriman. Akhlak yang mulia ini tidak akan kokoh tegak dalam jiwa orang yang tidak punya landasan iman yang kuat kepada Allah swt. Sebab, rasa malu adalah pancaran iman.

Tentang kesejajaran sifat malu dan iman dipertegas lagi oleh Rasulullah saw., “Malu dan iman keduanya sejajar bersama. Ketika salah satu dari keduanya diangkat, maka yang lain pun terangkat.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar. Menurut Hakim, hadits ini shahih dengan dua syarat-syarat Bukhari dan Muslim dalam Syu’ban Iman. As-Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shagir menilai hadits ini lemah.)

Karena itu, sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat ini membawa kebaikan bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin, sifat malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5652)

Dengan kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam dirinya hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita bayangkan jika dari mulut seorang muslimah meluncur kata-kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata Nabi, “Malu adalah bagian dari iman, dan keimanan itu berada di surga. Ucapan jorok berasal dari akhlak yang buruk dan akhlak yang buruk tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi dalam Ktab Birr wash Shilah, hadits nomor 1932)

Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat malu. Dari mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu akan muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat yang terbersit dalam hati kita, semua diketahui oleh Allah swt.

Jadi, sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika kita merasa di bawah pantauan Allah swt. Dengan kata lain, ketika kita dalam kondisi ihsan, sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan Jibril tentang ihsan.

Itulah sifat malu yang sesungguhnya. Sebagaimana yang sampai kepada kita melalui Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Malulah kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, kami sesungguhnya malu.” Beliau berkata, “Bukan itu yang aku maksud. Tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya; yaitu menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dari apa yang dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat malu yang sesungguhnya kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shifatul Qiyamah, hadits nomor 2382)

Ingat! Malu. Bukan pemalu. Pemalu (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang muslimah untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah.

Dari Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamah Ummu Mukminin berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, bila ia melihat air (keluar dari kemaluannya karena mimpi).’” (HR. Bukhari dalam Kitab Ghusl, hadits nomor 273)

Saat ini banyak muslimah yang salah menempatkan rasa malu. Apalagi situasi pergaulan pria-wanita saat ini begitu ikhtilath (campur baur). Ketika ada lelaki yang menyentuh atau mengulurkan tangan mengajak salaman, seorang muslimah dengan ringan menyambutnya. Ketika kita tanya, mereka menjawab, “Saya malu menolaknya.” Bagaimana jika cara bersalamannya dengan bentuk cipika-cipiki (cium pipi kanan cium pipi kiri)? “Ya abis gimana lagi. Ntar dibilang gak gaul. Kan tengsin (malu)!”

Bahkan ketika dilecehkan oleh tangan-tangan jahil di kendaraan umum, tidak sedikit muslimah yang diam tak bersuara. Ketika kita tanya kenapa tidak berteriak atau menghardik lelaki jahil itu, jawabnya, sekali lagi, saya malu.

Jelas itu penempatan rasa malu yang salah. Tapi, anehnya tidak sedikit muslimah yang lupa akan rasa malu saat mengenakan rok mini. Betul kepala ditutupi oleh jilbab kecil, tapi busana ketat yang diapai menonjolkan lekak-lekut tubuh. Betul mereka berpakaian, tapi hakikatnya telanjang. Jika dulu underwear adalah busana sangat pribadi, kini menjadi bagian gaya yang setiap orang bisa lihat tanpa rona merah di pipi.

Begitulah jika urat malu sudah hilang. “Idza lam tastahyii fashna’ maa syi’ta, bila kamu tidak malu, lakukanlah apa saja yang kamu inginkan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Ahaditsul Anbiya, hadits nomor 3225).

Ada tiga pemahaman atas sabda Rasulullah itu. Pertama, berupa ancaman. “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fushhdilat: 40).

Kedua, perkataan Nabi itu memberitakan tentang kondisi orang yang tidak punya malu. Mereka bisa melakukan apa saja karena tidak punya standar moral. Tidak punya aturan.
Ketiga, hadits ini berisi perintah Rasulullah saw. kepada kita untuk bersikap wara’. Jadi, kita menangkap makna yang tersirat bahwa Rasulullah berkata, apa kamu tidak malu melakukannya? Kalau malu, menghindarlah!

Salman Al-Farisi punya pemahaman lain lagi tentang hadits itu. “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla apabila hendak membinasakan seorang hamba, maka Ia mencabut darinya rasa malu. Bila rasa malu telah dicabut, maka engkau tidak akan menemuinya kecuali sebagai orang yang murka dan dimurkai. Bila engkau tidak menemuinya kecuali sebagai orang yang murka dan dimurkai, maka dicabutlah pula darinya sifat amanah. Bila sifat amanah itu dicabut darinya, maka engkau tidak akan menjumpainya selain sebagai pengkhianat dan dikhianati. Bila engkau tak menemuinya selain pengkhianat dan dikhianati, maka rahmat Allah akan dicabut darinya. Bila rahmat itu dicabut darinya, maka engakau tidak akan menemukannya selain sosok pengutuk dan dikutuk. Bila engkau tidak menemukannya selain sebagai pengkutuk dan dikutuk, maka dicabutlah darinya ikatan Islam,” begitu kata Salman. (HR. Ibnu Majah dalam Kitab Fitan, hadits nomor 4044, sanadnya lemah, tapi shahih)

Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di hadapan pria adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya berjalan di tengah kaum lelaki dengan belahan dada tanpa penutup. Dan mungkin saja mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”

Menundukkan pandangan juga bagian dari rasa malu. Sebab, mata memiliki sejuta bahasa. Kerlingan, tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada seorang lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah swt. memerintahahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan sebagaian pandangan mereka.

Memang realitas kekinian tidak bisa kita pungkiri. Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor publik, baik sebagai profesional ataupun aktivis sosial-politik. Ada yang dengan alasan untuk melayani kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan. Tidak sedikit wanita harus bekerja karena ia adalah tulang punggung keluarganya. Sehingga, ikhtilath (bercampur baur dengan lelaki) tidak bisa terhindari.

Untuk yang satu ini, mari kita kutip pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi, “Saya ingin mengatakan di sini bahwa kata ikhtilath dalam hal hubungan antara lelaki dan wanita adalah kata diadopsi ke dalam kamus Islam yang tidak dikenal oleh warisan budaya kita pada sejarah abad-abad sebelumnya, dan tidak diketahui selain pada masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa asing, hal itu memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih cocok mungkin bisa menggunakan kata liqa’ atau muqabalah –keduanya berarti pertemuan—atau musyarakah (keterlibatan) seorang lelaki dan wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan aturan atau hukum umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan adanya aktivitas tersebut atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya yang dikhawatirkan, gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalamnya.”

Ada adab yang harus ditegakkan kala terjadi muqabalah antara pria dan wanita. Adab-adab itu adalah:

> Ada pembatasan tempat pertemuan
> Menjaga pandangan dengan menundukkan sebagian pandangan
> Tidak berjabat tangan dalam situasi apa pun dengan yang bukan muhrimnya
> Hindari berdesak-desakan dan lakukan pembedaan tempat bagi lelaki dan wanita
> Tidak berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis)
> Hindari tempat-tempat yang meragukan dan bisa menimbulkan fitnah
> Hindari pertemuan yang lama dan sering, sebab bisa melemahkan sifat malu dan menggoyahkan keteguhan jiwa
> Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan keinginan batin untuk melakukan yang haram, ataupun membayangkannya

Khusus bagi wanita, pakailah pakaian yang yang sesuai syariat, tidak memakai wewangian, batasi diri dalam berbicara dan menatap, serta jaga kewibawaan dan beraktivitas. Perhatikan gaya bicara. Jangan genit!

Dengan begitu jelaslah bahwa Islam tidak mengekang wanita. Wanita bisa terlibat dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berpolitik, dan berbagai aktivitas lainnya. Islam hanya memberi frame dengan adab dan etika. Sifat malu adalah salah satu frame yang harus dijaga oleh setiap wanita muslimah yang meyakini bahwa Allah swt. melihat setiap polah dan desiran hati yang tersimpan dalam dadanya. []

Antara Facebook dan Manusia Produktif

Oleh: Yesi Elsandra

dakwatuna.com -

Kecanggihan teknologi informasi khususnya internet telah membawa kemajuan yang sangat pesat di seluruh aspek kehidupan. Berapa banyak kawan lama yang kembali bersilaturahim berkat situs jejaring rekaan Mark Zuckerberg bernama Facebook. Berapa banyak bisnis berjalan mulus dan berkembang berkat distribusi dan jaringan melalui internet. Berapa pula banyak orang yang menjadi religius berkat siraman rohani dari berbagai situs dakwah yang bertebaran di dunia maya.

Namun dibalik manfaat kecanggihan internet itu tidak sedikit pula mudharat yang bakal menimpa penggunanya. Edward Richardson, pria asal London, Inggris tega membunuh mantan istrinya. Penyebabnya hal sepele, yakni setelah mengetahui kalau mantan istrinya tersebut telah mengubah status ’single’ di Facebooknya. Tidak sedikit juga pengguna internet menjadi tidak produktif karena waktunya habis terbuang hanya untuk memperhatikan perkembangan Facebooknya.

Jika Facebook dan produk internet lainnya telah melalaikan dan menurunkan produktivitas kita sebagai seorang muslim itu tandanya kita harus waspada. Islam –dengan ke-syumul-annya– menawarkan konsep “manusia produktif” kepada setiap orang sekaligus mengantarkan mereka menembus nilai-nilai ilahiyyah yang sering tertutup oleh tabir kegelapan jahiliyyah. Sekurang-kurangnya ada empat prinsip yang diutarakan sebagai konsep Islam dalam membina manusia menjadi muslim produktif, duniawi dan ukhrawi.

Yang pertama, mengubah paradigma hidup dan ibadah. Dalam Islam, hidup bukanlah menuju kematian, akan tetapi menuju kehidupan yang abadi. Hidup merupakan ladang yang akan dituai hasilnya di kehidupan abadi nanti. Sehingga hidup ini merupakan durasi penyeleksian manusia dari amalan-amalannya, dari produktivitasnya di pentas dunia. Mana di antara mereka yang tingkat produktivitasnya tinggi dan mana yang tidak. Allah swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS 51:56)

Apabila paradigma (cara pandang) terhadap Facebook dan produk internet lainnya sebagai sarana atau media yang memberikan kemudahan kepada kita untuk beribadah kepada Allah SWT maka peningkatan produktivitas kita akan mengalami lonjakan kenaikan yang tinggi karena media itu telah memberi banyak manfaat kepada kita, bukan menjadi sarana yang menjerumuskan kita kepada kesia-siaan, waktu yang terbuang dan berbagai kemudharatan lainnya.

Yang kedua, memelihara kunci produktivitas, yaitu hati. Rasulullah saw bersabda: “Ingatlah dalam diri manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baiklah seluruh jasadnya. Dan apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh jasadnya, itu tidak lain adalah hati”.

Hati merupakan “ruh” bagi semua potensi yang kita miliki. Jika hati kita bersih pikiran dan tenaga tidak akan tercurahkan serta tersalurkan hanya untuk melihat foto-foto orang lain, atau membaca komentar-komentar orang lain di Facebook. Jika hati kita bersih kita juga tidak akan berbuat iseng kepada orang lain dengan mengambil gambar orang lain untuk keperluan yang tidak bermanfaat.

Hati yang terpelihara dan terlindungi akan memancarkan energi yang mendorong manusia untuk beramal lebih banyak dan lebih berkualitas lagi. Produktivitasnya akan terjaga bahkan akan terus bertambah sedikit demi sedikit. Dan tidak hanya itu, ‘amaliyah-nya (produktivitas) pun akan mempunyai nilai yang abadi. Nilai ini adalah nilai keikhlasan yang jauh dari kepentingan-kepentingan pribadi dan duniawi.

Yang ketiga, bergerak dari sekarang. Seorang sahabat pernah berkata: “Jika engkau di pagi hari maka janganlah menunggu nanti sore, dan jika engkau di sore hari maka janganlah menunggu waktu besok”. Prinsip “bergerak dari sekarang” ini menunjukkan suatu etos kerja yang tinggi dan hamasah (semangat) beramal yang menggebu-gebu. Seorang muslim sangatlah tidak pantas jika menunda-nunda suatu amal, karena waktu dalam pandangan Islam sangatlah mahal (oleh karena itu, dalam Al-Qur’an Allah swt banyak bersumpah dengan waktu), Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna mengatakan bahwa “waktu adalah kehidupan”.

Dari prinsip ini, akan terlahir sosok-sosok manusia ‘amali. Manusia yang senantiasa menghiasi waktunya dengan produktivitas tinggi akan menjauhi hal-hal yang akan mengantarkannya kepada suatu yang sia-sia dan tak berguna. Apalagi menyibukkan waktunya untuk chatting yang tidak bermanfaat sampai melalaikan waktu shalat. Sosok muslim yang ideal telah digambarkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya, ia berkata: “Di antara tanda bagusnya Islam seseorang, ia senantiasa meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya”.

Yang keempat, kontinuitas dalam beramal. Dalam Islam, masa produktif ialah sepanjang hayat, selama ia masih menghirup kehidupan, maka ia dituntut untuk terus beramal dan menjaga produktivitasnya, walaupun amalan itu dilakukan sedikit demi sedikit.

Dengan prinsip kontinuitas ini, maka Islam dapat menjaga kestabilan produktivitas seorang muslim. Islam tidak membiarkan seorang muslim beramal “besar” kemudian setelah itu padam dan surut kembali. Dorongan kontinyu (dawam) dalam beramal dengan bentuk ahabul a’mali ilallah (yang paling disukai oleh Allah) merupakan dorongan terbesar bagi setiap muslim untuk senantiasa terus produktif dan menjaga produktivitasnya.

Seharusnya kita dapat menjadikan Facebook dan media internet lainnya sebagai sarana untuk menyebarkan fikrah Islamiyah yang bersih. Satu saja orang bisa tersentuh cahaya Allah melalui tangan kita tentu akan melapangkan jalan kita ke surga.

Dunia dan segala apa yang ada di dalamnya hanyalah sarana yang akan menghantarkan kita pada perjumpaan dengan yang Maha Pencipta. Jangan terlalu dicinta yang membuat waktu kita habis bersamanya. Amatlah merugi jika sarana itu justru menghantarkan kita kepada kehinaan di neraka jahanam. Sebagai seorang muslim kita memahami bahwa hidup ini hanya sekali. Hiasilah ia dengan sikap produktif, kreatif, inovatif dan prostatic. Semoga kita semua menjadi manusia yang beruntung. Amin… (Yesi Elsandra)

sumber : http://www.dakwatuna.com/2009/antara-facebook-dan-manusia-produktif/

Jumat, 10 Juli 2009

Menjaga 7 Sunnah Rasululloh SAW

Cerdasnya orang yang beriman adalah, dia yang mampu mengolah hidupnya yang sesaat, yang sekejap untuk hidup yang panjang”.

Hidup bukan untuk hidup, tetapi hidup untuk Yang Maha Hidup. Hidup bukan untuk mati, tapi mati itulah untuk hidup. Kita jangan takut mati, jangan mencari mati, jangan lupakan mati, tapi rindukan mati. Kerana, mati adalah pintu berjumpa dengan Allah SWT.

Mati bukanlah cerita dalam akhir hidup, tapi mati adalah awal cerita sebenarnya, maka sambutlah kematian dengan penuh ketakwaan. Hendaknya kita selalu menjaga tujuh sunnah Nabi setiap hari. Ketujuh sunnah Nabi SAW itu adalah:

Pertama: tahajjud, kerana kemuliaan seorang mukmin terletak pada tahajjudnya.

Kedua: membaca Al-Qur'an sebelum terbit matahari Alangkah baiknya sebelum mata melihat dunia, sebaiknya mata membaca Al-Qur'an terlebih dahulu dengan penuh pemahaman.

Ketiga: jangan tinggalkan masjid terutama di waktu subuh. Sebelum melangkah kemana pun langkahkan kaki ke masjid,kerana masjid merupakan pusat keberkahan,bukan kerana panggilan muadzin tetapi panggilan Allah yang mencari orang beriman untuk memakmurkan masjid Allah.

Keempat: jaga solat dhuha, kerana kunci rezeki terletak pada solat dhuha.

Kelima: jaga sedekah setiap hari. Allah menyukai orang yang suka bersedekah, dan malaikat Allah selalu mendoakan kepada orang yang bersedekah setiap hari.

Keenam: jaga wudhu terus menerus kerana Allah menyayangi hamba yang berwudhu. Kata khalifah Ali bin Abu Thalib, "Orang yang selalu berwudhu senantiasa ia akan merasa selalu solat walau ia sedang tidak solat, dan dijaga oleh malaikat dengan dua doa, ampuni dosa dan sayangi dia ya Allah".

Ketujuh: amalkan istighfar setiap saat. Dengan istighfar masalah yang terjadi kerana dosa kita akan dijauhkan oleh Allah. Zikir adalah bukti syukur kita kepada Allah. Bila kita kurang bersyukur, maka kita kurang berzikir pula, oleh kerana itu setiap waktu harus selalu ada penghayatan dalam melaksanakan ibadah ritual dan ibadah ajaran Islam lainnya.

Zikir juga merupakan makanan rohani yang paling bergizi, dan dengan zikir berbagai kejahatan dapat ditangkal sehingga jauhlah umat manusia dari sifat-sifat yang berpangkal pada materialisme dan hedonisme.

~Khalifah Allah~Sesunguhnya orang-orang yg menyatakan:"Rabbi Kami ialah Allah",kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) :"janganlah kamu berasa takut & berasa sedih..."
(Fushshilat ; 30)

Jumat, 26 Juni 2009

Sinergi Sabar dan Sholat

"Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". (QS AlBaqarah [2]: 155)

Shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat. Demikian sabdaRasulullah SAW ketika memerintahkan ibadah shalat kepada umatnya. Perintah ini menunjukkan betapa pentingnya nilai shalat bagi seorang Muslim, sampai gerakan dan bacaannya dicontohkan secara detail oleh beliau.

Sejatinya, shalat adalah ibadah paripurna yang memadukan olah pikir, olah gerak dan olah rasa (sensibilitas) . Ketiganya terpadu secara cantik dan selaras. Kontemplasi dan riyadhah yang terintegrasi sempurna, saling melengkapi dari dimensi perilaku/lisan (al-bayan), respons motorik, rasionalitas (menempatkan diri secara proporsional) , dan kepekaan terhadap jati diri--untuk merasakan cinta dan kasih sayang Allah SWT.


Yang menarik, Alquran kerap menggandengkan ritual shalat dengan sikap sabar.
Misalnya dalam QS Al Baqarah [2] ayat 155, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Perintah senada terungkap pula dalam QS Al Baqarah [2] ayat 45.

Mengapa sabar dan shalat?


Sebelumnya, mari kita lihat makna sabar. Secara etimologi, sabar
(ash-shabr) bermakna menahan (al-habs). Dari sini sabar dimaknai sebagai
upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk
mencapai ridha Allah (QS Ar Ra'd [13]: 22).

Lebih dari seratus kali kata sabar disebut dalam Alquran. Tidak mengherankan, karena sabar adalah poros sekaligus asas segala macam kemuliaan akhlak. Jika kita menelusuri hakikat akhlak mulia, maka sabar selalu menjadi asas dan landasannya. 'Iffah [menjaga kesucian diri misalnya, adalah bentuk kesabaran dalam menahan diri dari memperturutkansyahwat. Syukur adalah bentuk kesabaran untuk tidak mengingkari nikmat dari Allah. Qana'ah [merasa cukup dengan apa yang ada] adalah sabar dengan menahan diri dari angan-angan dan keserakahan. Hilm [lemah-lembut] adalah kesabaran dalam mengendalikan amarah. Pemaaf adalah sabar untuk tidak membalas dendam. Demikian pula keutamaan akhlak lainnya. Pengukuh agama
semuanya bersumbu pada kesabaran.

Dari sini terlihat bahwa sabar itu cakupannya sangat luas. Sehingga sabar bernilai setengah keimanan. Setengah lainnya adalah syukur. Sabar ini terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan; seperti musibah, bencana atau kesusahan. Kedua, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, sabar dalam menjalankan ketaatan.

Tidak berputus asa saat menghadapi musibah (atau sesuatu yang tidak enak) merupakan tingkat terendah dari kesabaran. Satu tingkat di atasnya adalah sabar untuk menjauhi maksiat dan kesabaran berlaku taat. Mengapa demikian?
Kesabaran menghadapi musibah disebut kesabaran idhthirari (tidak bisa
dihindari). Pada saat ditimpa musibah, seseorang tdak memiliki pilihan
kecuali menerima cobaan tersebut dengan sabar.

Dengan tidak sabar pun, musibah tetap terjadi. Lain halnya dengan sabar
menjauhi maksiat dan sabar dalam taat, keduanya bersifat ikhtiari (bisa
dihindari). Dengan kata lain, manusia dihadapkan pada pilihan, bisa
melakukan bisa pula tidak.

Dari sini, secara psikologis kita bisa memaknai sabar sebagai sebuah
kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan. Dengan kata
lain, sabar adalah upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah.

Jiwa yang tenang

Salah satu ciri orang sabar adalah mampu menempatkan diri dan bersikap
optimal dalam setiap keadaan. Sabar bukanlah sebuah bentuk keputusasaan,
melainkan optimisme yang terukur. Ketika menghadapi situasi di mana kita
harus marah misalnya, maka marahlah secara bijak dan diniatkan untuk
mendapatkan kebaikan bersama. Karena itu, mekanisme sabar dapat
melembutkan hati, menghantarkan sebuah kemenangan yang manis atas dorongan syaithaniyah untuk menuruti ketidakseimbangan hawa nafsu.

Dalam shalat dan proses sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan
kendali diri secara proporsional, mulai dari gerakan (kecerdasan motorik),
inderawi (kecerdasan sensibilitas) , aql, dan pengelolaan nafs menjadi
motivasi yang bersifat muthma'innah. Jiwa yang tenang inilah yang akan
memiliki karakteristik malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran
absolut. Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah). Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang bening dalam ridha-Nya (QS Al Fajr [89]: 27-28).

Orang-orang yang memiliki jiwa muthma'innah pada akhirnya akan mampu
mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam kesehariannya. Nilai shalat
adalah nilai-nilai yang didominasi kesabaran paripurna. Praktiknya
tercermin dari sikap penuh syukur, pemaaf, lemah lembut (hilm), penyayang,
tawakal, merasa cukup dengan yang ada (qana'ah), pandai menjaga kesucian
diri ('iffah), konsisten (istiqamah), dsb.

Tak heran jika Rasulullah SAW, para sahabat dan orang-orang saleh
menjadikan shalat sebagai istirahat, sebagai sarana pembelajaran, sebagai
media pembangkit energi, sebagai sumber kekuatan, dan sebagai pemandu
meraih kemenangan. Ketika mendapat rezeki berlimpah, shalatlah ungkapan
kesyukurannya. Ketika beban hidup semakin berat, shalatlah yang meringankannya. Ketika rasa cemas membelenggu, shalatlah yang
membebaskannya. Khubaib bin Adi dapat kita jadikan teladan.

Ketika akan menjalani dieksekusi mati, seorang dedengkot kafir Quraisy
memberi Khubaib kesempatan untuk mengungkapkan keinginan terakhirnya. Apa
yang ia minta? Ternyata, Khubaib minta diberi kesempatan untuk shalat.
Permintaan itu dikabulkan. Dengan khusyuk ia shalat dua rakaat. Selepas
itu pengagum berat Rasulullah SAW ini berkata, Andai saja aku tidak ingin
dianggap takut dan mengulur-ulur waktu, niscaya akan kuperpanjang lagi
shalatku ini!.

Ya, shalat yang baik akan menghasilkan kemampuan bersabar. Sebaliknya
kesabaran yang baik akan menghasilkan shalat yang berkualitas. Ciri shalat
berkualitas adalah terjadinya dialog dengan Allah sehingga melahirkan
ketenangan di hati. Komunikasi dengan Allah tidak didasari titipan
kepentingan. Dengan terbebas dari gangguan kepentingan tersebut, shalat
akan mencapai derajat komunikasi tertinggi. Komunikasi dengan Dzat Yang
Mahakuasa, Pemilik Alam Semesta.

Siapa pun yang mampu merasakan nikmatnya berdialog dengan Allah SWT,
hingga berbuah pengalaman spiritual yang dalam, niscaya ia tidak akan
sekali pun melalaikan shalat. Ia rela kehilangan apa pun, asal tidak
kehilangan shalat. Jika sudah demikian, pintu pertolongan dari Allah SWT
akan terbuka lebar.

Senin, 22 Juni 2009

Ketika Tamu Bulanan Tiba ;-)

~ Sebab-sebab Lemah Iman Saat Datang Bulan ~

v Minimnya ilmu
v Jauh dari Dzikrullah
v Sibuk dengan dosa


Minimnya Ilmu


Krisis ruhiyah bisa terjadi karena minimnya pengetahuan muslimah terhadap jenis-jenis ibadah, terutama ibadah hati. Padahal ibadah hati lebih luas cakupannya, lebih kontinyu tuntutan untuk dikerjakan dan tetap diperintahkan dalam situasi apapun, termasuk ketika haidh, nifas, maupun junub. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata, ”Sesungguhnya amal hati lebih agung dan lebih berat daripada amal jawarih (anggota badan).” Beliau juga berkata, ”Amalan hati adalah inti, sedang amal anggota badan mengikuti dan melengkapi.”

Jauh dari Dzikrullah

Berangkat dari minimnya ilmu terhadap jenis ketaatan, maka sibuk dengan perkara yang mubah dan lalai dari dzikrullah juga sering menjadi tradisi wanita yang sedang haidh. Padahal Ibnu Taimiyah-Rahimahullah-berkata, ”Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan, maka bagaimana nasib ikan bila dikeluarkan dari air?” Kondisi hati yang tidak disiram dengan dzikir laksana ikan yang diluar air. Cepat atau lambat, ia akan mati. Lebih dari itu, Nabi SAW telah mengumpamakan hati yang kosong dari dzikir bagaikan orang mati,

”perumpamaan orang berdzikir kepada Allah dengan yang tidak berdzikir itu seperti orang yang hidup dan yang mati.” [HR. Bukhary no. 5928].

Tak ada dalil sharih yang melarang wanita haidh untuk berdzikir, menyebut Asma Allah, memuji dan mengingatNya. Tak ada nash, baik Al Qur’an maupun Al Hadits, yang mengecualikan wanita haidh untuk masuk ke dalam golongan ulil albab yang dikabarkan oleh Allah melalui firman-Nya,

”(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi ( seraya berkata ) : ”Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.” ” (Qs. Ali Imran, 3:191)

Sibuk dengan Dosa

Kondisi paling buruk adalah ketika lemah amal hati dan jawarihnya, dalam waktu bersamaan dia bergumul dengan dosa. Jika unsur yang menyehatkan dan menyuburkan hati tidak ada, ditambah dengan penyakit hati yang merata, seberapa kadar harapan dia untuk bisa hidup. Seperti tanaman yang tak diberi pupuk, di tanah yang tak subur, tidak pula di rawat, dalam waktu yang bersamaan hama menyerang di akar, batang, daun dan buahnya. Masihkan diharapkan panennya?
Begitu halnya dengan hati. Padahal ia adalah malikula’dha’ (raja dari anggota badan) dan panglimanya; apa yang dipeintahkan olehnya itulah yang akan dikerjakan anggota badan. Nabi Shallallahu ’Alayhi wa Sallam bersabda,
”Sesuungguhnya didalam jasad ada segumpul darah, yang apabila dia baik niscaya baiklah seluruh jasad dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh jasad, dialah hati.”
[HR. Bukhary no. 50]

Agar kuat Iman saat datang bulan

Kondisi yang rentan dengan penurunan iman mebutuhkan sarana extra untuk mengokohkannya. Bahkan tidak menutup kemungkinan seorang wanita yang haidh mampu mengatrol imannya saat itu, bi-idznillah. Secara ringkas, kiat-kiat itu adalah :

Hendaknya wanita menerima fitrah yang telah Allah tetapkan bagi wanita. Tidak menyesalinya atau ber-su’udzon kepada Allah.

Meluruskan persepsi yang menganggap bahwa masa haidh adalah masa libur wanita dari seluruh ibadah.

Hendaknya menyibukan diri dengan ketaatan kepada Allah. Karena iman akan naik dengan ketaatan dan akan turun karena maksiat.

Menjauhkan diri dari maksiat yang akan berpengaruh kepada anjloknya iman saat datang bulan. Juga perkara mubah yang tidak ada.

Amalan Hati Penyejuk Ruhani

Menghadirkan keikhlasan

Muroqobatullah (merasakan pengawasan Allah)

Muhasabah

Mujahadah

Amal Pilihan Saat Datang Bulan

Istighfar di waktu sahur
Dzikir pagi hari
Dzikir sehari semalam
Dzikir sore hari
Menghidupkan sunnah dan ketaatan
Memulai segala sesuatu dari yang kanan
Taat kepada Suami
Thalabul Ilmu
Bersedekah
Menjauhi perkara sia-sia dan dosa

Minggu, 21 Juni 2009

Mata Air Ridho Salafus Sholeh

Adalah Abu Darda mengunjungi sahabatnya yang menjelang ajal namun malah memuji Allah. Abu Darda berujar, "Anda benar. Sesungguhnya jika Allah menetapkan sesuatu, Dia senang jika diridlai."

Umar bin Abdul Aziz pernah ditanya, "Apa yang paling Anda senangi?", beliau menjawab, "Semua yang ditetapkan oleh Allah.”

Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Ridla adalah pintu Allah yang terbesar, surga dunia, dan tempat istirahatnya para ahli ibadah."

Hasan al-Bashriy berkata, "Barangsiapa ridla terhadap ketentuan-Nya, Allah akan meluaskan dan memberkahinya. Begitu pula sebaliknya."

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib mendapati Adiy bin Hatim tengah bersedih. Beliau bertanya, "Mengapa Anda bermuram durja?" Adiy menjawab, "Apa tidak boleh, sedangkan dua anakku baru saja terbunuh, pun mataku baru saja tercungkil?!" Ali bertutur, "Wahai Adiy, barangsiapa ridla terhadap ketetapan Allah maka sesungguhnya ketetapan Allah itu tetap terjadi dan dia mendapat pahala. Dan barangsiapa tidak ridla terhadap ketetapanNya, sesungguh¬nya ketetapanNya tetap terjadi dan amalan orang itu pun terhapus."

Ibnu Mas'ud berkata, "Sesungguhnya Allah -dengan keadilan dan ilmu-Nya- menjadikan kenikmatan dan kegembiraan pada yakin dan ridla, serta menjadikan kesusah¬an dan kesedihan pada keraguan dan kekesalan."

Salafus sholeh berkata, "Di akhirat nanti, tidak ada derajat yang lebih tinggi dari pada yang dimiliki oleh orang-orang yang ridla kepada Allah ta'ala dalam segala situasi. Maka barangsiapa dianugerahi ridla sungguh ia telah mendapatkan derajat yang paling utama."

Kamis, 18 Juni 2009

Sediakan Selalu Ruang untuk Dibenci

"Jangan engkau kira sebuah kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin adalah keburukan. sebab bisa jadi ia adalah kebaikan yang ditangguhkan untukmu"(Umar bin Khatab radhiyallahu anhu)

Pasti. Setiap dari kita inginkesesuaian antara kenyataan dan harapan. Kita mendambakanhidup bisa berjalan sesuai dengan apa yang ada di pikiran kita; bahagia, aman dan disenangi semua orang. Tidak ada permusuhan dengan siapapun. Tidk ingin dibenci. Tapi sebaliknya, ingin dicintai dan disukai oleh semua orang.

Tapi kedua sisi yang berlawanan ini; cinta dan benci, ternyata tidak akan pernahbisa berpisah. Ada yang mencintai kita tetapi ada juga yang membenci kita. Adayang kita cinta dan juga ada yang kita benci. Benci selalu lahir, karena ada banyak faktor yang tidak bisa kita hindari.

Tidak ada manusia yang sempurna

Manusia memang diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dibanding ciptaan Alloh swt yang lain. Nmaun manusia tetap memiliki serangkaian kekurangan dalam statusnya sebagai makhluk. Tidak ada manusia yang sempurna, utuh, tanpa cela dan kekurangan.

Yang sempurna hanyalah Alloh swt, Sang Pencipta. Dialah Pemilik Kesempurnaan. Dialah Zat yang tanpa cela. Tanpa kekurangan. Tanpa Kelemehan, dalam sifat, perbuatan, ketentuan, dan hukumanNya, sehingga Dia tidak layak dibenci oleh siapapun. Sedangkan manusia, umumnya makhluk yang mempunyai banyak kelemahan dan keterbatasan, dan Alloh swt telah menegaskan sifat lemah mereka di dalam Al Qur'an, dimana mereka sering mendapatkan dispensasi-dispensasi hukum karena sifat lemah itu. Alloh swt berfirman, "Alloh hendak memberi keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah"
(QS. An Nisa' : 28)

Sifat lemah manusia begitu jelas terlihat ketika mereka terkena musibah, atau tertimpa kesulitan, dimana mereka cenderung suka berkeluh kesah. Karena Alloh swt pun telah melengkapi kelemahan mereka dengan sifat itu. Dia menegaskan, "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat suka mengeluh" (QS. Ma'aarij : 19)

Manusia juga cenderung melakukan penyimpangan dan berlaku sombong seperti disebutkan dalam ayat, "(orang yang membanggakan diri) yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir dan menyembunyikan karunia Alloh yang telah diberikanNya kepada mereka..." (QS. An Nisa : 37)

Ini hanya sedikit ayat yang menjelaskan dan membuktikan bahwa manusia memang memiliki banyak cela dan kekurangan. Jikapun kita mendapati seseorang, yang menurut penilaian dan pandangan kita nyaris tidak ada kekurangan, mungkin karena kita belum banyak berinteraksi dengannya.

Jika misalnya, suatu saat kita punya kesempatan untuk hidup bersama dengan orang itu, disana kita pasti akan mendapati celah dalam dirinya ternyata orang tersebut punya kekurangan. Kekurangan yang tidak nampak jika kita hanya melihat sekilasnya saja.

Begitu juga sebaliknya, jika kita memberikan penilaian pada seseorang dengan predikat penuh kekurangan, banyak kesalahan, barangkali si sisi lain Alloh swt telah membekalinya dengan serangkaian kelebihan, yang mungkin saja melampui kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri kita.

Maka, kalau kita menyadari ini, sangatlah pantas jika kita selalu menyediakan ruang dalam hati untuk dibenci, karena kitapun bukan manusia sempurna. Banyak kekurangan pada diri kita, yang mungkin saja akan tidak disukai oleh orang lain.

jazakallah for someone yang sdh memberi arti tentang kerendahan hati...

Fitnah

Oleh : AS Ibnu Qoyyim

''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan satu musibah kepada satu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.'' (QS Alhujurat [49]: 6).

Dalam ayat lain, Allah berfirman, ''Allah tidak menyukai menyebut keburukan orang (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'' (QS Annisaa' [4] : 148).

Allah SWT memerintahkan umat Islam agar memastikan (tabayyun) terlebih dahulu kebenaran suatu berita yang tersebar. Penyebar berita itu hendaknya kita cari tahu, apakah layak dipercaya atau tidak. Namun tetap saja, unsur baik sangka (husnuzhzhon) ada di urutan pertama.

Selain itu, Allah menekankan pada kita agar tidak mudah membuat tuduhan yang tidak berdasar, seperti mencela orang lain, memaki, menerangkan keburukan orang lain, menyebarluaskan aib, atau menyinggung perasaan. Pengecualian itu semua hanya berlaku bagi orang yang dizalimi, yang diberlakukan secara buruk oleh orang yang menganiayanya.

Rasulullah SAW tidak mudah mendengar kata-kata yang dapat mengeruhkan ukhuwah antarsahabat. Rasulullah SAW bersabda, ''Janganlah ada di antara kalian (para sahabat) yang suka menyampaikan perkara-perkara yang memburukkan sahabat-sahabat lain karena sesungguhnya aku lebih suka jika aku menemukan kalian semua dalam keadaan lapang dada, tanpa prasangka buruk.'' (HR Alkhamsah).

Rasulullah SAW juga melarang para sahabatnya untuk tidak menyebarkan aib orang lain sekalipun kepada Beliau. Perbuatan itu dapat mengarah pada tindakan fitnah.

Pada hakikatnya, fitnah atau tuduh-menuduh lahir dari rasa dengki, sombong, angkuh, tidak menerima kebenaran, dan menganggap orang lain berderajat lebih rendah darinya.

Fitnah adalah tindakan paling kejam yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Bahkan, pembunuhan yang merupakan tindakan kejam dianggap 'kalah kejam' ketimbang fitnah.

Memiliki tabiat fitnah atau tuduh-menuduh akan membawa kita pada kehancuran dan kemusnahan. Tidak ada sedikit pun keuntungan yang diperoleh dari sifat buruk itu.

Karena itu, Alquran menganjurkan kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima berita yang belum dapat dipastikan kebenaran dan asal-usulnya. Ingat selalu firman-Nya, ''.... Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.'' (QS Al-Isra' [17]: 36).

Wallahu a'lam bish-shawab.

Rabu, 17 Juni 2009

Seindah Apapun ...


Sebuah persembahan untuk setiap insan yang mendambakan keindahan dankebahagiaan..

Seindah dan semanis apapun madu didunia ini, takkan bisa menandingi manisnya iman..

Seindah apapun musik didunia ini dari Jazz sampai Love Song,takkan bisa menyaingi indahnya dan nikmatnya lantunan ayat suciAl-Qur'an..

Seindah dan se-happy apapun cinta didunia ini, takkan bisa menandingi kenikmatan mencintai Allah dan Rasul-Nya..

Seindah dan senyaman apapun kendaraan didunia ini dari Jaguar sampaiMercedes, takkan bisa menyamai indahnya sendal yang berjalan dijalan yang lurus menuju rumahNya (masjid)..

Seindah dan semulus apapun jalan raya didunia ini, takkan bisa menyaingi indahnya jalan menuju Ridho Allah semata..

Seindah dan seadem apapun naungan pohon yang rindang didunia ini, takkan bisa menandingi naungankasih sayang Allah!

Seindah apapun film true story didunia ini, takkan bisa menandingi film true storynya Rasulullah SAW semenjak didalam kandungan hingga wafat..

Seindah apapun perlombaan didunia ini, takkan bisa menandingiindahnya berlomba-lomba dalam kebaikan..

Seindah apapun kemenangan dan kesuksesan didunia ini, takkan bisamenyaingi keindahan kemenangan menegakkan kalimah Allah...

Seindah dan seluas apapun gedung didunia ini, takkan bisa menandingikeindahan dan kelapangan rumah-rumah Allah..

Seindah dan secantik apapunbidadari syurga, takkan bisa menyaingi pesona dan kecantikan hatiseorang wanita muslimah yang menghiasi dirinya dengan akhlak mulia..

Seindah dan setampan apapun pria didunia ini, takkan bisa menyaingiindahnya cahaya diwajah seorang muslim yang menjadikan AlQur'an sebagaijiwanya..

Seindah dan semenawan apapun pakaian didunia ini, takkan bisa menyaingimenawannya pakaian Taqwa..

Seindah dan seceria apapun mengecek daftaraset kekayaan yang semakin meningkat, takkan bisa menyaingi keceriaanmelihat daftar aset amal baik yang melebihi amalan buruk pada haripengadilan..

Seindah dan seharu apapun menonton film romantis HappyEnding yang bikin menangis, takkan bisa menandingi kebahagiaan menontonfilm kehidupan sendiri yang Husnul khotimah alias Happy Ending dikehidupan abadi..amin

Seindah dan selezat apapun makanan didunia ini, takkan bisa menyaingikelezatan dan keberkahan makanan yang dihasilkan dari harta yang halaldan disajikan oleh istri sholehah..

Seindah dan sebagus apapun pendidikansekolah dan universitas di dunia ini, takkan bisa mengalahkan pendidikansekolah ibunda tersayang..

Seindah dan semegah apapun rumah yang dihuni, takkan bisa menyaingiketentraman rumah yang selalu dibacakan ayat suci AlQur'an..

Seindah danseborju apapun rumah tangga, takkan bisa menyaingi keromantisan rumahtangga yang diselimuti pengertian dan saling mengalah..

Seindah dan semujarab apapun Obat stress didunia ini, takkan bisamenandingi indahnya senyuman seorang istri menyambut suaminya yangpulang membawa stress dari pekerjaan..

Seindah dan semanjur apapun creampenghalus dan pemutih wajah, takkan bisa menyaingi kesejukan air wudhuyang membasuhi wajah di sepertiga malam terakhir..

Seindah dan semanjur apapun obat Awet muda, takkan bisa menyaingiindahnya mendambakan muda abadi disyurga..

Seindah dan setajam apapun pedang didunia ini, takkan bisa menandingitajamnya penglihatan seseorang yg melihat dengan cahaya Allah..

Seindahdan seenak apapun aktivitas dan pekerjaan manusia didunia ini, takkanbisa menandingi keindahan dan kenikmatan sujud meminta ampun pada Sang Khaliq

Seindah dan senikmat apapun mengingat kekasih yang tersayang, takkanbisa menyaingi kenikmatan mengingat Yang Maha Penyayang!

Seindah dan sebahagia apapun rindunya bertemu sang kekasih, takkan bisamenyaingi kebahagiaan merindukan pertemuan dengan yang Maha Pengasih!

Seindah dan sebahagia apapun menerima raport hasil ujian dengan nilaitinggi, takkan bisa menandingi kebahagiaan menerima hasil ujian hidupdihari akhir dengan tangan kanan!

Seindah dan seceria apapun menerima gaji bulanan dengan puas, takkanbisa menyaingi kepuasan menerima ganjaran dan balasan amal baik di hariakhir..

Seindah apapun pemandangan alam semesta, takkan bisa menandingikeindahan pesona melihat wajah Allah di syurga! bagi orang-orangmu'min..

Ridho Tertinggi, Sabar Terendah

~Ibnu Qayyim al-Jauziyah~

Sehubungan dengan apa yang tidak disukainya, seorang hamba boleh menempati salah satu dari dua derajat ini; Ridla atau Sabar. Ridla adalah yang lebih utama. Adapun sabar hukumnya wajib bagi setiap insan yang beriman.

Mereka yang ridla adalah mereka yang dapat menghayati hikmah dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka tidak berburuk sangka kepadaNya. Di saat yang lain menghayati betapa Dia Maha Agung, Maha Mulia, dan Maha Sempurna. Ia terhanyut dalam persaksian-Nya atas semua itu, sehingga ia tidak lagi merasakan derita. Hanyasaja, hanya mereka yang benar-benar berma'rifah dan bermahabbah saja yang dapat mencapai tingkatan ini. Mereka -bahkan- dapat menikmati musibah yang menimpa mereka, karena mereka tahu bahwa musibah itu datang dari Dzat yang dicintainya. .

Sabar berbeda dengan ridla. Sabar adalah menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit sambil berharap derita itu segera hilang. Ridla adalah berlapang dada atas ketetapan Allah dan membiarkan keberadaan rasa sakit, walaupun ia merasakannya. Keridlaannya meringan¬kan deritanya. Karena hatinya dipenuhi oleh ruh yakin dan ma'rifah. Bila ridla semakin kuat, ia mampu menepis seluruh rasa sakit dan derita.

Tuluskah Hatimu...??

siapa saya yang menilai atau menghakimi seseorang?

Kalimat di atas sering sekali kita dengar. Barangkali pun sering kita ucapkan.
Ketulusan adalah sesuatu yang seharusnya juga kita masukkan dalam kalimat di atas.

sehingga secara implisit kalimatnya menjadi:
siapa saya yang bisa menilai ketulusan seseorang, atau menghakimi tulus tidaknya seseorang?

Seperti juga keikhlasan, ketulusan (yang saya anggap part dari ikhlas) adalah sesuatu yang tidak memiliki alat ukur yang jelas.
lalu apa indikator seseorang tidak tulus? apa indikator seseorang tulus? adakah tips-tips mengenali bentuk ketulusan or ketidaktulusan ini?

Saya tidak tahu jawabannya. Saya lebih khawatir pada kesalahan saya mengenali bentuk ketulusan, dibandingkan mengkhawatirkan ketulusan orang-orang yang memasang wajah tulus di hadapan saya.

Kenapa?Sebab apakah mereka tulus atau tidak, sama sekali bukan urusan saya.
Jika mereka tidak tulus, maka itu tidak akan merugikan saya… tidak membuat saya menjadi orang yang lebih besar atau menjadi orang yang lebih kecil.
Sebab kita sendiri yang menentukan, akan jadi manusia yang lebih besarkah kita, atau sebaliknya. Bukan orang lain.

Katakanlah seseorang memberi pujian untuk kita.
“Wah, mbak cantik sekali. Lebih cantik dari yang saya dengar…”

Apakah mereka tulus mengungkapkan itu?
Ah, apa artinya mereka tulus ketika memuji atau tidak?
Sebab toh jika mereka tulus, pujian tersebut tidak membuat kita bertambah cantik.
Adapun jika mereka hanya mencari bahan obrolan, atau berusaha lebih dekat, atau mengambil hati kita dengan kalimat itu, saya kira ini kreativitas seseorang yang tidak menyakitkan.

Bagaimana jika mereka mengatakan hal itu justru untuk mengecilkan hati kita. Jahatnya begitu. Sebab kita yang tiap hari bercermin tahu betul apa kata cermin tentang diri kita. Dan kita misalnya sama sekali tidak masuk kriteria cantik secara fisik. Apakah kita harus merasa sedih atau marah karena mereka tidak tulus? Justru mungkin diam-diam menertawakan kita di belakang?

Ah, terus kenapa pula jika mereka memang menertawakan kita, jika mereka tidak tulus? Apakah kita menjadi lebih kecil dan tidak berarti? Tentu tidak. Arti diri kita, nilai diri kita… kitalah yang menentukan. Sepenuhnya di tangan kita. Bukan tangan orang lain.

“Dia bilang saya hebat, padahal dia tahu proyek saya gagal… “
“Dia Cuma pura-pura manis depan saya, padahal maksudnya…”
“Dia kan begitu hanya untuk bisnis, ramahnya untuk kepentingan-kepentingan tertentu…”

Katakanlah mereka benar tidak tulus terhadap kita… lalu kenapa? Apa ruginya?
Bahwa manusia berusaha lebih kreatif, berusaha melancarkan bisnis, berusaha untuk kehidupannya, apakah itu menjadikan mereka manusia yang tidak baik? Tidakkah kita pun akan menjaga sikap kita, bahkan pada orang yang tidak kita sukai, namun punya pengaruh? Sebab ini adalah upaya survive dalam kehidupan, tahu bagaimana beradaptasi. Tentu kita juga tahu bagaimana mencapai itu tanpa terjebak menjadi munafik.

Tentu saja, seharusnya seseorang tulus dengan apa yang dia ucapkan, dengan apa yang dia lakukan…

Tetapi kalau mereka memiliki alasan lain, tidak berarti mereka tidak tulus. Atau bahkan jika mereka benar-benar tidak tulus… Biarlah.

Kenapa harus kita membiarkan bisikan-bisikan tadi justru merusak hati, dan malah melawan prinsip yang pernah kita tanamkan dalam hati kita:
siapa saya yang menilai atau menghakimi seseorang?

Dengan menilai orang lain tidak tulus, menilai orang lain bermaksud ini itu, memiliki kepentingan-kepentingan tertentu… mungkin kita benar. Lalu jika benar, apa poin lebih bagi kita?

TAPI, bagaimana kalau kita salah menilai? Semua yang kita anggap sebagai bagian dari ketidaktulusan justru merupakan ketulusan?

Ahh, apa pula arti ketulusan?
Apakah ketulusan harus sesuai dengan apa yang KITA inginkan? Sesuai dengan definisi dan batasan-batasan KITA tentukan? Sehingga jika ada yang melakukan sesuatu di luar rambu-rambu yang KITA tetapkan, kita anggap tidak tulus?

“Kalau dia tulus harusnya dia begini dong…”
”Kalau tulus dia nggak mungkin begitu…”

Kenapa ketulusan harus kita yang menjadi juri. Harus menurut kacamata kita?
Lalu di mana kita meletakkan poin, menghormati sebuah perbedaan? Bahwa ada orang lain yang memang berbeda, bahasa, budaya, agama…

Ketika seseorang memilih bersikap berbeda semata-mata karena upayanya menjadi hamba Allah yang lebih baik, dan bukan karena alasan-alasan lain, tanpa bermaksud menyakiti orang lain. Jika kemudian sikapnya tidak sesuai dengan keinginan kita, kacamata kita, atau apa yang kita percayai, apakah dia menjadi tidak tulus?

Ketulusan itu, biarlah Dia yang menilai sepenuhnya.
Sebab memang terlalu rumit untuk kacamata manusia.

Manusia dengan kemampuan pikir, hanya boleh berasumsi, boleh mengira-ira. Tapi dengan tetap menghidupkan kesadaran:
Allah, betapa terbatasnya mata kita, betapa luasnya pandanganMU.

Terbukti, kita seringkali salah menilai seseorang…

“Saya kira dia suka ini… ternyata tidak.”
“Kelihatannya orangnya pendiam, ya… ternyata kok rame.”

Begitu banyak ternyata-ternyata lain.

Buat saya, saya tidak ingin meletakkan kebahagiaan saya, di tangan orang lain. Sebuah pujian tidak akan membuat saya bertambah kaya, sebab saya tahu… di mataNYA, begitu banyak cela dan cacat saya, begitu banyak ketidaksempurnaan saya, begitu kecilnya saya…

Tetapi, sebuah ketidaktulusan, juga tidak boleh menyakiti saya, apalagi mengubah dunia saya. Ikhlaskan saja…
Tapi jadikan ketidaktulusan yang kamu temui, apakah asumsi atau kemudian terbukti, di mana saja… kapan saja… siapapun yang melakukannya, sebagai pelajaran dan bekal, untuk menjadi lebih tulus dari kemarin.

Sebab saya tidak ingin membuat hati-hati lain retak karena saya bersikap tidak tulus.
Saya yang harus tulus. Bukan orang lain.
Saya yang tidak boleh tidak tulus, bukan orang lain.

Sebab saya yang akan bertanggung jawab terhadap ketulusan atau ketidaktulusan saya, di mahkamahNya nanti. Saya, bukan yang lain…

---Asma Nadia---

Senin, 15 Juni 2009

Lima Kunci Pengokoh Jiwa Penenang Bathin

Bismillahirrahmanirrahiim...

1. Aku Harus Siap Menghadapi Hidup ini, Apapun Yang Terjadi

Hidup di dunia ini hanya satu kali, aku tak boleh gagal dan sia-sia tanpa guna.Tugasku adalah menyempurnakan niat dan ikhtiar, perkara apapun yang terjadi kuserahkan kepada Allah Yang Maha Tahu yang terbaik bagiku. Aku harus selalu sadar sepenuhnya bahwa yang terbaik menurutku belum tentu yang terbaik menurut Allah SWT. Bahkan sangat mungkin aku terkecoh oleh keinginan dan harapanku sendiri. Pengetahuan tentang diriku atau tentang apapun amat terbatas sedangkan pengetahuan Allah menyelimuti segalanya, Dia tahu awal, akhir dan segala-galanya.Sekali lagi betapapun aku sangat menginginkan sesuatu, tetap hatiku harus kupersiapkan untuk menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan harapanku.Karena mungkin itulah yang terbaik bagiku.

2. Aku Harus Rela Dengan Kenyataan Yang Terjadi

Bila sesuatu terjadi, yaa?.. inilah kenyataan dan episode hidup yang harus kujalani.Aku harus menikmatinya, dan aku tak boleh larut dalam kekecewaan berlama -lama, kecewa, dongkol, sakit hati tak akan merobah apapun selain menyengsarakan diriku sendiri, dongkol begini, tak dongkol juga tetap begini.Hatiku harus realistis menerima kenyataan yang ada, namun tubuh serta pikiranku harus tetap bekerja keras mengatasi dan menyelesaikan masalah ini.Bila nasi telah menjadi bubur, maka aku harus mencari ayam, cakweh, kacang polong, kecap,seledri, bawang goreng dan sambal agar bubur ayam spesial tetap dapat kunikmati.

3. Aku Tak Boleh Mempersulit Diri

Aku harus yakin bahwa hidup ini bagai siang dan malam pasti silih berganti. Tak mungkin siang terus-menerus dan tak mungkin juga malam terus-menerus, pasti setiap kesenangan ada ujungnya begitupun masalah yang menimpaku pasti ada akhirnya, aku harus sangat sabar menghadapinya.Akupun harus yakin bahwa setiap musibah terjadi dengan ijin Allah Yang Maha Adil, pasti sudah diukur dengan sangat cermat oleh-Nya tak mungkin melampaui batas kemampuanku, karena Dia tak pernah mendzalimi hamba-hamba- Nya.Aku tak boleh mendzalimi diriku sendiri, dengan pikiran buruk yang mempersulit dan menyengsarakan diri, pikiranku harus tetap jernih, terkendali, tenang dan proporsional,aku tak boleh terjebak mendramatisir masalah.Aku harus berani menghadapi persoalan demi persoalan, tak boleh lari dari kenyataan,karena lari sama sekali tak menyelesaikan bahkan sebaliknya hanya akan menambah masalah. Semua harus dengan tegar kuhadapi dengan baik, aku tak boleh menyerah, aku tak boleh kalah.Mesti segala sesuatu akan ada akhirnya, begitupun persoalan yang kuhadapi seberat apapun seperti yang dijanjikan Allah " Fainnama'al usri yusron innama'al 'usri yusron" dan sesungguhnya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan, bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan. Janji yang tak pernah mungkin dipungkiri oleh Allah SWT.

4. Evaluasi Diri

Segala yang terjadi mutlak adalah ijin Allah SWT, dan Allah tak mungkin berbuat sesuatu yang sia-sia.Pasti ada hikmah dibalik setiap kejadian, sepahit apapun pasti ada kebaikan yang terkandung di dalamnya, bila disikapi dengan sabar dan benar.Harus kurenungkan mengapa Allah menakdirkan semua ini menimpaku, bisa jadi peringatan atas dosa-dosa kita, kelalaianku atau mungkin, saat kenaikan kedudukanku disisi Allah.Mungkin aku harus berpikir keras untuk menemukan kesalahan yang kuperbaiki.Setiap kejadian bagai cermin pribadiku, aku tak boleh gentar dengan kekurangan dan kesalahan yang telah terjadi, yang penting kini aku mengetahui diriku yang sebenarnya dan aku bertekad sekuat tenaga untuk memperbaikinya, Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat.

5. Alloh-lah Satu-satunya Penolongku

Aku harus yakin kalaupun bergabung seluruh manusia dan jin untuk menolongku tak mungkin terjadi apapun tanpa ijin-Nya.Hatiku harus bulat total dan yakin seyakin-yakinnya, bahwa hanya Allahlah satunya-satunya yang dapat menolong memberi jalan keluar terbaik dari setiap urusan.Tidak ada yang mustahil bagi-Nya, karena segala-galanya adalah milik-Nya, dan sepenuhnya dalam kekuasaan-Nya.Tak ada yang dapat menghalangi jikalau Dia akan menolong hamba-hamba- Nya, Dialah yang mengatur segala sebab datangnya pertolongan- Nya.Oleh karena itu aku harus benar-benar berjuang, berikhtiar untuk mendekati-Nya dengan mengamalkan apapun yang disukai-Nya dan melepaskan hati ini dari ketergantungan selain-Nya,karena selain Dia hanyalah sekedar makhluk yang tak berdaya tanpa kekuatan dari-Nya.Ingatlah selalu janji-Nya "Barang siapa yang bertaqwa kepada-Ku, niscaya Ku beri jalan keluar dari setiap urusannya dan Kuberi rizki / pertolongan dari tempat yang tak terduga, dan barang siapa yang bertawakal kepada-Ku, Niscaya akan Kucukupi segala kebutuhannya" . (At-Thalaq : 2-3)Semoga 5 kunci diatas dapat menenangkan hati yang sedang galau, cemas, was-was, khawatir yang berlebihan dan pengobat stress. Ingat hanya dengan dzikrullah / mengingat Allah hati akan menjadi tenang.

sumber : KH. Abdulah Gymnastiar.